Hidup di Media Sosial: Bagai Katak dalam Tempurung


Seberapa eratkah hubungan kamu dengan media sosial? Pernahkah kamu lewatkan harimu tanpa membuka Instagram atau Facebook? Hubungan warganet Indonesia dengan media sosial memang bisa dibilang sangat erat. Sebuah laporan yang dirilis oleh We Are Social dan Hootsuite yang bertajuk “Digital 2019: Indonesia” mengungkapkan bahwa seluruh pengguna internet di Indonesia saat ini juga merupakan pengguna media sosial aktif yang menghabiskan waktunya rata-rata hampir 3 ½ jam setiap harinya bersama media sosial.

Tidak hanya sebagai jejaring pertemanan, media sosial juga hadir sebagai media perantara warganet untuk mengakses informasi. Orang banyak mengakses berita dari Facebook atau Twitter, atau mengikuti perkembangan informasi melalui Instagram dan YouTube, dibandingkan masuk ke kanal beritanya langsung seperti detik.com, kompas.com, tempo.co dan sebagainya. Salah satu penyebabnya adalah di media sosial kita bisa langsung bertukar pikiran (baca: debat) dengan pengguna lainnya, serta langsung berkomentar tentang isi berita (atau judul berita?).


Fitur interaktif dua arah yang disajikan oleh media sosial ini tentu lebih diminati masyarakat Indonesia yang memang mewarisi sifat komunal—interaksi di media sosial dimaknai bak ngobrol di warung kopi. Kini, lapak warung kopi berpindah ke kolom komentar Facebook, Instagram, YouTube, hingga grup-grup aplikasi pesan singkat yang berjubel banyaknya. Melihat fenomena tersebut, media sosial pada dasarnya merupakan sebuah aplikasi yang memungkinkan para penggunanya membangun jejaring pertemanan dengan lebih luas dan sejatinya dapat memperluas wawasan kita sebagai penggunanya. Tapi benarkah begitu?

Ruang Gema dalam Media Sosial

Coba perhatikan, apakah informasi/postingan yang ditampilkan di dalam feed Facebook kamu sama dengan feed teman kamu? Tentunya akan berbeda, karena teman kita di Facebook belum tentu sama. Akan tetapi perbedaan ini juga disebabkan oleh hal lain, yaitu algoritma yang digunakan platform media sosial ini. Facebook mengkurasi informasi yang disajikan pada penggunanya berdasarkan aktivitas memberi like, memberikan komentar, membagikan (share) postingan, membuka foto, memutar video, dan sebagainya. Melalui jejak digital yang kita tinggalkan ini, maka yang kamu temui di linimasa Facebook adalah konten pilihan yang sesuai dengan minat dan perilaku kita.

Hal yang mirip terjadi pula jika Anda membuka kolom pencarian di Instagram. Sebelum memasukkan kata kunci pencarian, Anda sudah terlebih dulu disuguhi rekomendasi unggahan dari akun-akun yang bahkan tidak Anda ikuti. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Setali tiga uang dengan yang dilakukan Facebook, Instagram membaca preferensi Anda berdasarkan aktivitas sebelumnya. Algoritma yang digunakan oleh perusahaan media sosial raksasa tadi dijuluki sebagai filter bubble. Mulanya istilah tersebut dipopulerkan oleh Eli Pariser dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet is Hiding from You (2011). Algoritma ini membuat pengguna media sosial hanya “melihat apa yang ingin dilihat—membaca apa yang ingin dibaca”.

Cara Kerja Algoritma Filter Bubble (sumber)

Algoritma ini membuat pengguna media sosial merasa semakin dekat dengan individu/akun yang memiliki kesamaan—sementara menjauhkan pengguna dengan individu/akun yang dirasa tidak memiliki kesamaan. Hal ini tentunya bisa membuat betah berlama-lama tinggal di media sosial, sebab merasa menjumpai banyak kawan yang, misalnya memiliki hobi serupa atau memiliki pandangan yang sama, namun diam-diam, algoritma membuat pengguna media sosial terkotak-kotak. Jika terus-menerus disuguhi informasi dari satu sudut pandang yang ktia sukai saja, maka dikhawatirkan dapat menumbuhkan sikap bebal dan tertutup untuk dapat menerima sudut pandang lain yang berbeda atau berseberangan dengan keyakinan kita. Akhirnya, pengguna media sosial seolah hidup di dalam ruang bergema (echo chamber) yang senantiasa meyakinkan pandangannya sebagai yang paling benar—dikarenakan konten-konten yang memang dipilihkan khusus sesuai preferensinya.

Kekhawatiran atas dampak algoritma atau filter bubble kian menguat kala Indonesia tengah bersiap menghadapi pesta demokrasi di tahun 2019 ini, melalui PEMILU. Akibat algoritma dan filter bubble, media sosial cenderung bersekat-sekat sesuai dengan pilihan politik penggunanya. Seseorang yang bakal memilih kandidat A disuguhi berita-berita baik tentang jagoannya, sekaligus informasi mengenai keburukan sang rival. Sementara bagi para pendukung kandidat sebelah, bakal dimanjakan dengan informasi tentang kesempurnaan si B—tentu ditambah bumbu-bumbu mengenai keburukan si A. Pendukung dari kedua kubu bakal masing-masing akan kian percaya bahwa pilihannya lah yang maha-benar. Media sosial seolah menciptakan kondisi mestakung (semesta mendukung) yang selalu mengamini pendapat masing-masing, dan membuat mereka semakin percaya bahwa pendapat mereka adalah pendapat mayoritas

Ironisnya, alih-alih menjadi pemilih cerdas yang memanfaatkan media sosial sebagai ruang publik yang demokratis, platform media sosial justru dituduh menjadi penyebab hancurnya demokrasi. Pasalnya, pengguna media sosial malah sulit menerima pandangan yang berseberangan karena dicekoki informasi homogen. Kepungan filter bubble dikhawatirkan dapat menggerus daya pikir kritis pengguna media sosial—atau para pendukung masing-masing paslon apabila dibingkai dalam konteks pemilu. Semua informasi yang dianggap mendukung pendapatnya bakal diyakini sebagai kebenaran hakiki. Sebaliknya, informasi yang bertentangan dengan pendapatnya bakal diabaikan dan bahkan dapat dilabeli sebagai sebuah kebohongan.

Ketika Media Sosial memberikan kita Kaca Mata Kuda (sumber gambar)

Maka tidaklah mengherankan apabila hoaks semakin mudah ditemui, tersebar, dan menjadi konsumsi sehari-hari meski kandungan racunnya tinggi. Oleh karena itu, jangan sampai kita menjadi pengguna media sosial yang hidup bak katak dalam tempurung—terkungkung oleh dunianya sendiri tanpa sudi melihat dunia luar. Tampaknya, para pengguna media sosial (yang kerap kali panas hati) perlu menyadari bahwa yang berada di balik layar gawai adalah sesama manusia, yang walaupun bisa jadi memiliki gagasan, pikiran, dan pendapat yang berbeda, tetapi harusnya tidak jadi soal karena toh kita tidak hidup sebatas di media sosial. Bhineka Tunggal Ika perlu tetap menjadi semboyan hidup bangsa, sebab memang kita ditakdirkan untuk berbeda dan dari perbedaan itulah Indonesia menjadi bangsa yang kaya—yang warganya senantiasa bangga, bisa menepuk dada sembari berucap “Saya Indonesia!”.


(Tulisan ini juga dimuat dalam buku bunga rampai Demokrasi Damai Era Digital (Siberkreasi, 2019), yang dapat diunduh di literasidigital.id)

Komentar